Minggu, 12 November 2006

"Tukang Asuransi" itu datang lagi..


Pernahkah anda berpikir tentang asuransi jiwa?. A-ha..ini adalah pertanyaan yang selalu membuat kita cuek-cuek bebek. Kalaupun ditelpon atau didatangi salesman-nya, seribu alasan akan kita lontarkan dengan sekuat akal dan pikiran untuk tidak menerima mereka di kantor kita, di rumah, di jalan, atau dimana saja agar kita tidak membeli satupun polisnya. Bahkan pada saat penjual asuransi ingin membuat janji bertemu untuk menjelaskan programnya melalui telpon, tak jarang kita mengajarkan cara berbohong kepada para sekretaris kita sekedar mengatakan “maaf, bapak/ibu sedang ke luar kantor”, padahal kita sedang berada disebelah sang sekretaris saat dia mengatakan itu.

Bagi kebanyakan orang, asuransi jiwa adalah “proyek” menghambur-hamburkan uang dan hanya menguntungkan perusahaan asuransi saja. Salahkah berpikir seperti itu ?

Saya bukan mau menjual asuransi jiwa kepada anda. Dan saya pun bukan ingin “membesarkan kepala” penjual asuransi jika akhirnya mata saya terbuka gara-gara didatangi penjual asuransi dengan gaya tololnya.

Berikut ini kisahnya…

Suatu hari (karena capek menghindar) akhirnya saya mengijinkan salesman asuransi menemui saya di kantor. Saya ijinkan sekretaris saya menemukan saya dengan penjual itu. Umurnya sekitar 25. Kami bersalaman. Saya persilahkan dia duduk, dan saya menghadapinya dengan ogah-ogahan sambil bersilang kaki di sofa ruangan kantor saya.

Dengan angkuh saya menyapa penjual itu sekenanya, “Hmm..ada apa?, apa yg bisa saya bantu?”, saya membuka pembicaraan. Dia hanya tersenyum. Gayanya yg tolol membuat keangkuhan saya semakin menjadi. Saya pikir, ini adalah penjual baru; new comer !.

“Saya sedang tidak meminta bantuan, Pak!” katanya sambil tersenyum. Sombong sekali pikir saya. Mana mungkin dia kesini kalau bukan minta bantuan saya membeli polisnya. Saya tatap dia pura-pura serius mananggapi kata-katanya.

“Saya kesini sekedar bersilaturahim pak” katanya. Saya lagi-lagi pura-pura bego. Kemudian dia lanjutkan “saya ingin berkenalan dengan bapak, dan saya merasa senang mengenal seorang pemimpin yang berhasil seperti bapak. Kalaulah ada seribu orang seperti bapak dan mengijinkan saya menemuinya hari ini, maka akan saya temui mereka. Betapa senangnya orangtua saya karena saya berteman dengan orang-orang sukses.”

Hah? Saya terperangah dengan kata-katanya. Terus terang sedikit mencuri perhatian akal sehat saya. Tapi, ah, saya harus bisa menyembunyikan rasa kagum saya kepadanya. Kemudian saya berkata, “lantas, apa mau kamu sebenarnya?”. Hmm..kata-kata terangkuh dalam sejarah profesionalisme saya.

Dasar bego. Dia tersenyum lagi, dan sambil membetulkan duduknya dia berkata, “berapa usia anak bapak yang terkecil?.” Hmm..mulai mengorek data, pikir saya. “sekitar 3 tahun, perempuan” jawab saya sekenanya, kemudian saya lanjutkan, “anak saya ada 2, yang besar usia 5 tahun, laki-laki.” Saya duluan memberitahu sebelum dia bertanya-tanya lagi. Dia memandang saya dengan khidmat.

“Pastilah istri dan anak-anak bahagia sekali memiliki suami dan ayah seperti bapak” katanya masih sambil tersenyum. “Dan saya yakin, setiap pagi mereka mengantarkan bapak sampai di halaman rumah saat hendak berangkat ke kantor. Mereka baru akan masuk ke rumah kembali setelah bapak tidak terlihat lagi oleh mereka. Bukan begitu, pak?.” Lanjutnya bertanya kepada saya. Saya terkenang sejenak dengan anak dan istri di rumah.

“Apa maksud kamu?” saya jadi serius menatapnya. Dia pun agaknya menampilkan wajah keseriusannya. Sangat kelihatan ketulusannya, tetapi dengan senyumnya yang tak lepas.

“Saya yakin pak, saat anak dan istri bapak mengantarkan bapak sampai ke halaman rumah saat bapak hendak berangkat ke kantor, satu-satu mereka menciumi bapak.” Saya terkesiap. Ya betul sekali anak muda, kata saya dalam hati.

Dia melanjutkan kata-katanya, “apakah bapak menyadari, bahwa mereka (anak dan istri) juga selalu gusar dengan kepergian bapak. Itu yang menyebabkan mereka juga selalu berdoa agar bapak dilindungi oleh Tuhan dan sangat mengharapkan kembali ke rumah dengan selamat.sepulang bekerja” Hah?, saya mulai tertarik.

“Ya, memang seharusnya begitu. Karena mereka sangat mencintai saya” kata saya

“Saya mengerti pak, mereka masih sangat mengharapkan bapak. Mengharapkan cinta kasih bapak, termasuk hal-hal yang bersifat finansial dari bapak” lanjutnya dengan tenang. “Betul anak muda!” kata saya semakin serius menatapnya.

Sedikit demi sedikit keangkuhan saya mulai mencair.. Anak muda ini ternyata cukup baik sebagai teman diskusi. Kamipun bisa membicarakan apa saja. Hmm..dia pun tak pernah membicarakan masalah asuransi jiwa. Bahkan dia tidak menjual apa-apa, pikir saya. kami kayaknya mulai akrab. Komunikasi kamipun semakin terbuka, sampai akhirnya dia bertanya kepada saya…

“Apakah bapak ingin merayakan ulang tahun anak bapak yang ke 17 tahun?”
“Ya !” jawab saya tegas
“Itu sekitar 12 tahun yang akan datang?”
“Betul !”

“Pak, cobalah kita berandai-andai” lanjutnya lagi. “Maaf pak, seandainya hari ini bapak pulang tidak dengan selamat, patah kaki misalnya akibat kecelakaan, sehingga menjadikan bapak cacat, apakah masih mungkin bapak merayakan hari ulang tahun anak bapak 12 tahun yang akan datang?.” Saya mulai berpikir. Mengerikan sekali.

Saya jawab “yaaa…saya merayakan hari ulang tahun anak saya dalam keadaan cacat!” Pemuda itu menghilangkan senyumnya. Dia hanya memandangi saya. Kemudian dia melanjutkan bicaranya. Saya semakin tertarik.

“Perayaan itu akan berlangsung jika bapak mengalami cacat kecil. Bagaimana jika kedua kaki bapak sudah tidak ada karena diamputasi. Apakah kira-kira bapak masih bekerja dan mampu mengumpulkan uang untuk biaya perayaan itu.” Ya ampun! Saya mulai bergidik. Dan saya yakin tidak mungkin bekerja tanpa kaki. Pemuda itu melembutkan suaranya…

“Pak, apakah sungguh-sungguh bapak ingin merayakan ultah ke 17 anak bapak?”
“Ya!” jawab saya. “Saya akan merayakannya dalam keadaan sehat, dalam keadaan cacat!” lanjut saya dengan serius.
“Jika hari ini bapak pulang dengan tidak selamat akibat meninggal dunia, apakah perayaan itu harus tetap berlangsung?” Oooppsss..saya mulai panik…
“Ya, harus!” jawab saya berapi-api.
“Siapa yang membiayai acara itu jika bapak tidak ada sementara istri bapak tidak bekerja?” serangnya
“Saya tidak tahu!.” Nada suara saya melemah. Saya sangat ketakutan…
“Apakah mungkin ada kerabat, saudara, tetangga atau orang-orang yang pernah bapak bantu menyumbangkan dana untuk membiayainya?” matanya tajam kearah saya.

“Tidak mungkin!” jawab saya
“Atau mungkin boss bapak di kantor?”
“Tidak mungkin…”
“Atau mungkin salah satu saudara kandung bapak?”
“Tidak mungkin..”

Pemuda itu tersenyum memandang saya dalam-dalam yang hampir lunglai. Sejenak saya teringat wajah ayah saya ketika bertanya kepada saya saat meminta ijinnya untuk menikah. Dia bertanya kepada saya, “Apa kamu sudah siap menjadi suami bagi istri dan ayah bagi anak-anakmu kelak?.” Aku menjawabnya dengan kata-kata; siap lahir batin!.

Wajah pemuda ini mengingatkan saya kepada wajah almarhum ayah saya. Dengan lemah lembut kemudian dia berkata “Jangan gusar pak, 12 tahun yang akan datang staf di perusahaan saya akan datang menemui keluarga bapak. Mereka membawa sejumlah uang dan memberikannya untuk kebutuhan perayaan ulang tahun anak bapak, sekaligus biaya hidup mereka sampai mereka kuliah di perguruan tinggi. Uang itu akan diberikan meskipun bapak sudah meninggal dunia atau masih hidup.” Saya terkejut…

Maaf, saya hampir menangis mendengar ucapannya. Pemuda yang saya kira tolol ini ternyata sangat brilian menjual masa depan. Ternyata dia memang bukan menjual asuransi. Sejak awal tak satu kata “asuransi” pun keluar dari mulutnya. Saya memandangnya dengan haru. Lalu dia berkata…

“Apakah Bapak bersedia saya bantu?”

1 komentar: